SALAH SATU ISTRI RASULULLAH SAW :
SHAFIYAH BINTI HUYAY
Shafiyah binti Huyay (Shafiya/
Shafya/ Safiyya/ Sofiya) (sekitar 610 M - 670 M) adalah salah satu istri Nabi
Muhammad saw yang berasal dari suku Bani Nadhir. Ketika menikah, ia masih
berumur 17 tahun.[1] Ia mendapatkan julukan "Ummul mu'minin".[2]
Bapaknya adalah ketua suku Bani Nadhir, salah satu Bani Israel yang bermukim
disekitar Madinah.
Genealogi
Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab
bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin
al-Kham bin Yakhurn, termasuk keturunan Harun bin Imran bin Qahits bin Lawi bin
Israel bin Ishaq bin Ibrahim. Ibunya bernama Barrah binti Samaual darin Bani
Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun
setelah masa kenabian Muhammad.
Biografi
Shafiyah telah menjanda sebanyak
dua kali, karena dia pernah kawin dengan dua orang keturunan Yahudi yaitu Salam
bin Abi Al-Haqiq (dalam kisah lain dikatakan bernama Salam bin Musykam), salah
seorang pemimpin Bani Qurayzhah, namun rumah tangga mereka tidak berlangsung
lama.
Kemudian suami keduanya bernama
Kinanah bin Rabi' bin Abil Hafiq, ia juga salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah
yang diusir Rasulullah. Dalam Perang Khaibar, Shafiyah dan suaminya Kinanah bin
Rabi' telah tertawan, karena kalah dalam pertempuran tersebut. Dalam satu
perundingan Shafiyah diberikan dua pilihan yaitu dibebaskan kemudian diserahkan
kembali kepada kaumnya tanpa syarat atau dibebaskan kemudian menjadi isteri
Nabi Muhammad, kemudian Safiyah memilih untuk menjadi isteri Nabi Muhammad.
Shafiyah memiliki kulit yang
sangat putih dan memiliki paras cantik, menurut Ummu Sinan Al-Aslamiyah,
kecantikannya itu sehingga membuat cemburu istri-istri Nabi Muhammad yang lain.
Bahkan ada seorang istri Nabi Muhammad dengan nada mengejek, mereka mengatakan
bahwa mereka adalah wanita-wanita Quraisy bangsa Arab, sedangkan dirinya adalah
wanita asing (Yahudi). Bahkan suatu ketika Hafshah sampai mengeluarkan lisan
kata-kata, ”Anak seorang Yahudi” hingga menyebabkan Shafiyah menangis. Nabi
Muhammad kemudian bersabda, “Sesungguhnya engkau adalah seorang putri seorang
nabi dan pamanmu adalah seorang nabi, suamimu pun juga seorang nabi lantas
dengan alasan apa dia mengejekmu?” Kemudian Nabi Muhammad bersabda kepada
Hafshah, “Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah!” Selanjutnya manakala dia
mendengar ejekan dari istri-istri nabi yang lain maka diapun berkata,
“Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal suamiku adalah Nabi Muhammad,
ayahku (leluhur) adalah Harun dan pamanku adalah Musa?”[3] Shafiyah wafat
tatkala berumur sekitar 50 tahun, ketika masa pemerintahan Mu'awiyah.
Sejak kecil dia menyukai ilmu
pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya. Dari kitab
suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab yang
akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah pada masalah kenabian
tersebut, terutama setelah Nabi Muhammad muncul di Mekkah. Dia sangat heran
ketika kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal sudah jelas
tertulis di dalam kitab mereka sendiri. Demikian juga ayahnya, Huyay bin
Akhtab, yang sangat gigih menyulut permusuhan terhadap kaum Muslim.
Sifat dusta, tipu muslihat, dan
pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam banyak peristiwa. Di
antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay terhadap kaumnya
sendiri, Yahudi Bani Qurayzhah. Ketika itu, Huyay berjanji untuk mendukung dan
memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan perjanjian tidak
mengkhianati kaum Muslim (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi, ketika kaum
Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung jawab dan
tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya terhadap orang-orang
Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk menghasut kaum Quraisy agar memerangi
kaum Muslim dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka (Quraisy) lebih
mulia daripada agama Nabi Muhammad, dan Tuhan mereka lebih baik daripada Tuhan
Nabi Muhammad.
Penaklukan Khaibar dan
Penawanannya
Perang Khandaq telah membuka
tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati
dengan kaum muslimin. Muhammad segera menyadari ancaman yang akan menimpa kaum
muslimin dengan berpindahnya kaum Yahudi ke Khaibar kernudian membentuk
pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum muslimin.
Setelah perjanjian Hudaibiyah
disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh tahun, Nabi Muhammad
merencanakan penyerangan terhadap kaum Yahudi, tepatnya pada bulan Muharam
tahun ketujuh hijriah. Nabi Muhammad memimpin tentara Islam untuk menaklukkan
Khaibar, benteng terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat
hingga beberapa hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam.
Benteng-benteng mereka berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta
rampasan perang, dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang. Di antara
tawanan perang itu terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi yang ditinggal
mati suaminya.
Bilal membawa Shafiyyah dan putri
pamannya menghadap Nabi Muhammad. Di sepanjang jalan yang dilaluinya terlihat
mayat-mayat tentara kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah sangat sedih melihat
keadaan itu, apalagi jika mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan kaum
muslimin. Nabi Muhammad memahami kesedihan yang dialaminva, kemudian ia
bersabda kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai
Bilal, sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat
suami mereka?” Nabi Muhammad memilih Shafiyyah sebagai istri setelah terlebih
dahulu menawarkan untuk memeluk agama Islam kepadanya dan kemudian Shafiyyah
menerima tawaran tersebut.
Seperti telah dikaji di atas,
Shafiyyah telah banyak memikirkan Nabi Muhammad sejak dia belum mengetahui
kerasulan beliau. Keyakinannya bertambah besar setelah dia mengetahui bahwa
Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Anas berkata, “Rasulullah ketika hendak
menikahi Shafiyyah binti Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau
ketahui tentang diriku?’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah
rnengharapkanrnu sejak aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah
mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah memeluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah
tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada Nabi Muhammad dan rindunya terhadap
Islam.
Bukti-bukti yang jelas tentang
keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu dalam tidurnya
kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya. Mengetahui takwil dan mimpi
itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga berbekas di wajahnya.
Nabi Muhammad melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya, “Apa ini?” Dia
menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib,
kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku,
Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang
dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”
Masa Pernikahannya (Menjadi Ummu
al-Mukminin)
Nabi Muhammad menikahi Shafiyyah
dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan dengannya. Pernikahan Nabi Muhammad
dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan. Shafiyyah telah mernilih Islam
serta menikah dengan Nabi Muhammad ketika ia memberinya pilihan antara memeluk
Islam dan menikah dengan beliau atau tetap dengan agamanya dan dibebaskan
sepenuhnya tanpa syarat. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Nabi
Muhammad. Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat
membahayakan kaum muslim, di samping itu, juga karena kecintaannya kepada Islam
dan Nabi Muhammad.
Nabi Muhammad menghormati
Shafiyyah sebagaimana hormatnya ia terhadap istri-istri yang lain. Akan tetapi,
istri-istri Nabi Muhammad menyambut kedatangan Shafiyyah dengan wajah sinis
karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena kecantikannya yang
menawan. Akibat sikap mereka, Nabi Muhammad pernah tidak tidur dengan Zainab
binti Jahsy karena kata-kata yang dia lontarkan tentang Shafiyyah.
Aisyah
bertutur tentang peristiwa tersebut, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara unta Zainab
berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan Shafiyyah sakit,
maukah engkau memberikan salah satu dan untamu?’ Zainab menjawab, ‘Akankah aku
memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’ Akhirnya, beliau meninggalkan Zainab
pada bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, beliau tidak mendatangi Zainab
selama tiga bulan. Zainab berkata, ‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan
tempat tidurku.” Aisyah mengatakan lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan
Rasulullah datang.
Ketika itu Shafiyyah mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah
tentang dirinya dan mengungkit-ungkit asal-usul dirinya. Betapa sedih
perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis. Rasulullah
menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik
dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam hadits
riwayat Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah berkata,
‘Perempuan Yahudi!’ dia menangis, kemudian Nabi Muhammad menghampirinya dan
berkata, ‘Mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Hafshah binti Umar
mengejekku bahwa aku wanita Yahudiah.’ Kemudian Nabi Muhammad bersabda, ‘Engkau
adalah anak nabi, pamanmu adalah nabi, dan kini engkau berada di bawah
perlindungan nabi. Apa lagi yang dia banggakan kepadamu?’ Nabi Muhammad
kemudian berkata kepada Hafshah, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, Hafshah!”
Salah satu bukti cinta Hafshah
kepada Nabi Muhammad terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad
dalarn Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang beliau
wafat. Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau
derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu
sama lain. Melihat hal yang demikian, beliau berkata, “Berkumurlah!” Dengan
terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Beliau menjawab, “Dari isyarat mata
kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”
Setelah Muhammad wafat, Shafiyyah
merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka selalu
menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam dan
mendukung perjuangan Muhammad. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsman
bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu, dia pun banyak
meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’.
--------------------------------
Catatan kaki
1. Safiyya bint Huyay, Fatima az-Zahra by Ahmad Thompson
2. a b c d Stowasser, Barbara. The Mothers of the Believers in the
Hadith. The Muslim World, Volume 82, Issue 1-2: 1-36.
3. Al-Shati', 1971, 178-181
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Shafiyah_binti_Huyay
K.S.A Branch Office
Quraish Center, Western Tower, Suite# 50, 3rd Fl.
Quraish Street, Jeddah City
Kingdom of Saudi Arabia
Ph. +966 2 2577 575Fx. +966 2 2577 155