Selamat Datang di indonesian Hoteliers Middle East

Belajar Semangat dari Kisah Kalîmullâh Musa as

Sepuluh tahun lebih pemuda yang tercerahkan itu, Musa as. meninggalkan Mesir, tanah air tercinta, sejak ia menyelamatkan diri dari buruan Fir'aun. Hijrah dan bermukim di Madyan, hingga menemukan seorang wanita belahan jiwa, Shafura puteri Syu'aib as.

Sepuluh tahun adalah rentang waktu yang cukup lama bagi seseorang untuk mampu bertahan menyimpan rasa rindu kepada tanah kelahiran, tempat tumpah darahnya, meski ia tidak pernah merasakan kebahagiaan hidup di sana. Dimana seorang seperti Musa as. yang seharusnya memiliki kenangan hidup indah saat berada di negeri sendiri sebagaimana layaknya seorang dari keluarga kerajaan yang hidup mewah dan terhormat pernah memimpikannya. Bukankah ia dibesarkan sebagai putera angkat penguasa Mesir yang mengaku berperadaban tinggi itu? Bukankah dahulu Fir'aun, atas inisiatif isteri, juga kecenderungan hatinya, menginginkan bayi Musa yang mungil dan lucu itu menjadi bagian dari keluarganya?  Maka, tentu  wajarlah bila ia merindukan Mesir dan ingin pulang kembali setelah berkeluarga.

Bergegaslah Musa as. beserta isteri tercinta mengemas barang dan menyediakan kendaraan, lalu memohon diri kepada sang mertua, Syu'aib as., salah seorang nabi pilihan yang diutus untuk bangsa Madyan, yang telah membimbingnya laksana orang tua, bahkan guru spiritualnya. Dan bertolaklah rombongan keluarga kecil tersebut menuju selatan, menghindari jalan umum, agar tidak diketahui oleh Fir'aun dan kaumnya yang masih memburu Musa as.

Setibanya di Thur Sina, suatu daerah bebukitan, Musa kehilangan arah, bingung harus kemana ia meski melangkah? Dalam keadaan demikian, terlihatlah olehnya seberkas sinar yang berasal dari api menyala-nyala dari atas lereng sebuah bukit. Ia berhenti, lalu berlari menuju pancaran sinar itu, seraya berkata kepada isterinya, "Tinggallah kamu disini menantiku. Aku pergi melihat api yang menyala di atas bukit itu dan segera kembali. Semoga aku dapat membawa suatu berita atau setidaknya membawa sesuluh api untuk menghangatkan badanmu yang sedang menggigil kedinginan."

Tatkala Musa as. sampai di tempat api tersebut, terdengar suara seruan kepadanya berasal dari sebatang pohon di pinggir lembah, sebelah kanan, pada tempat yang diberkahi. Suara seruan yang didengar oleh Musa as. itu adalah, "Wahai Musa! Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya aku ini adalah Allah tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku." (QS. Thâhâ: 11-14)

Itulah wahyu pertama yang diterima langsung oleh Musa as. sebagai tanda kenabian, dimana ia telah dinyatakan Allah Swt. sebagai rasul dan nabi-Nya yang terpilih, dalam kesempatan berdialog langsung dengan Allah di atas bukit Thur Sina. Disanalah kemuian Allah Yang Maha Kuasa menganugerahi dua mukjizat sebagai persiapan untuk menghadapi Fir'aun yang sombong dan lalim.

Bertanyalah Allah kepada Musa as., "Apakah itu yang di tangan kananmu, wahai Musa!" (QS. Thâhâ: 17) Suatu pertanyaan yang mengandung arti lebih dalam dari apa yang sepintas lalu dapat ditangkap oleh Musa dengan jawabannya yang sederhana.

"Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul daun dengannya untuk makanan kambingku. Selain itu aku dapat pula menggunakan tongkatku untuk keperluan-keperluan lain yang penting bagiku." Ataukah dengan jawaban yang sederhana dan terkesan terlalu panjang itu, Nabi Musa as. sesungguhnya ingin menikmati suasana maha dahsyat nan memesona, yang seumur hidup baru sekali ia rasakan?!

Pertanyaan Allah Swt. yang terkesan sederhana itu baru dipahami dan diselami oleh Musa usai Allah memerintahkan kepadanya agar meletakkan tongkat yang dipegangnya di atas tanah, lalu menjelmalah menjadi seekor ular besar yang merayap dengan cepat sehingga membuat Musa lari terkejut, menjauhinya.

Allah Swt. berseru kepada Musa as., "Peganglah ular itu dan jangan takut. Kami akan mengembalikan kepada keadaannya semula." (QS. Thâhâ: 21) Maka begitu ular yang sedang merayap itu ditangkap dan dipegang oleh Musa, ia segera kembali menjadi tongkat yang diterimanya dari Syu'aib as., mertuanya tercinta, ketika ia bertolak dari Madyan.

Sebagai mukjizat yang kedua, Allah Swt. memerintahkan kepada Musa as. agar mengepitkan kedua telapak tangan ke bawah lengannya; yang nyata setelah perintah itu dilakukan, kedua telapak tangannya segera menjadi putih cemerlang tanpa suatu cacat atau penyakit pun.

***

Raja Fir'aun yang telah berkuasa di Mesir telah lama menjalankan pemerintahan yang lalim, kejam dan otoriter. Rakyatnya terdiri dari bangsa Egypt yang merupakan penduduk pribumi, dan bangsa Israel yang merupakan golongan pendatang, mereka semua hidup dalam suasana penindasan, tidak merasa aman, baik nyawa maupun harta benda.

Selain kelaliman, kekejaman, penindasan dan pemerasan yang ditimpakan oleh Fir'aun atas rakyatnya, terutama kaum Bani Israel. Lebih buruk dari hal itu semua adalah pernyataan dan pengukuhan dirinya sebagai tuhan yang harus disembah dan dipuja. Dengan demikian ia makin jauh membawa rakyatnya ke jalan yang sesat tanpa pedoman tauhid dan iman, sehingga makin dalamlah mereka terjerumus ke lembah kemaksiatan dan kerusakan moralitas.

Maka dalam kesempatan berdialog langsung di bukit Thur Sina itu diperintahkanlah Kalîmullâh Musa as. oleh Allah untuk pergi kepada Fir'aun sebagai Rasul-Nya, mengajak beriman kepada Allah, menyadarkan dirinya bahwa ia adalah makhluk biasa sebagaimana rakyatnya yang tidak pantas menuntut orang menyembahnya sebagi tuhan, dan menyeru bahwa Tuhan yang wajib disembah olehnya dan semua manusia adalah Tuhan Yang Maha Esa, Allah Swt. Yang telah menciptakan alam semesta ini.

Nabi Musa as. dalam perjalanannya menuju kota Mesir setelah meninggalkan Madyan, selalu dibayangi oleh kecemasan, jika saja peristiwa pembunuhan yang telah dilakukannya sepuluh tahun yang lalu itu, tidak juga terlupakan dan masih belum hilang dari ingatan para pembesar kerajaan Fir'aun. Ia tidak mengabaikan kemungkinan bahwa mereka akan melakukan pembalasan terhadap perbuatan yang tidak sengaja tersebut dengan hukuman pembunuhan atas dirinya, bila suatu ketika ia sudah berada di tengah-tengah mereka. Ia hanya terdorong rasa rindunya yang sangat kuat kepada tanah kelahiran, tempat tumpah darah, dan kepada sanak familinya dengan memberanikan diri kembali ke Mesir tanpa memperdulikan akibat yang mungkin dihadapi.

Jika pada waktu bertolak dari Madyan dan selama perjalannya melalui Thur Sina,  Musa as. dibayangi rasa cemas akan pembalasan Fir'aun, maka dengan perintah Allah Swt. yang sangat tegas, "Pergilah engkau kepada Fir'aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas!" (QS. Thâhâ: 24) Segala bayangan itu pun dilempar jauh-jauh dari pikirannya, dan bertekad akan melaksanakan perintah Allah menghadapi Fir'aun, apa pun resiko yang akan terjadi pada dirinya.

Demi menenteramkan hatinya, Berkatalah Musa  kepada Allah, "Aku telah membunuh seorang dari mereka, maka aku cemas mereka akan membalas untuk membunuhku, berikanlah seorang pembantu dari keluargaku sendiri, saudaraku Harun, untuk menyertaiku dalam melakukan tugasku, meneguhkan hatiku, dan menguatkan tekadku menghadapi orang-orang kafir tersebut, terlebih Harun saudaraku itu lebih fasih lidahnya dan lebih cerdik dari diriku untuk berdebat."

Allah Swt. berkenan mengabulkan permohonan Musa as., maka digerakkanlah hati Harun yang ketika itu masih berada di Mesir untuk pergi menemui Musa mendampinginya, dan bersama-sama pergilah mereka ke istana Fir'aun dengan diiringi firman Allah Swt., "Janganlah kamu berdua khawatir. Sesungguhnya Aku beserta kamu, Aku mendengar dan melihat." (QS. Thâhâ: 46).

***

Bila peristiwa yang dialami Kalîmullâh Musa as. di bukit Thur Sina sebagaimana tersebut di atas adalah potret kondisi kejiwaan yang menggambarkan proses peralihan dari suatu tahapan mentalitas kepada tahapan mentalitas lain yang lebih baik, sempurna, sehingga dalam rentang waktu itu sangatlah dibutuhkan faktor penguat internal, suatu motivasi spiritual ketuhanan, sebagaimana Firman Allah, "Janganlah kamu berdua khawatir. Sesungguhnya Aku beserta kamu, Aku mendengar dan melihat." Maka demikan pula halnya dengan Baginda Nabi Muhammad saw.

Ingatlah, ketika wahyu pertama menjelang diterima Baginda Muhammad saw. diawali oleh suatu mimpi yang benar. Dimana setiap kali Nabi saw. bermimpi, mimpi itu datang bagaikan terbitnya Subuh. Dikala Nabi saw. sering menyendiri, menyepi di gua Hira’. Di sana, ia melakukan tahannuts beberapa malam. Kemudian pulang menemui keluarga, menemui Khadijah, istri tercinta, mengambil bekal lagi untuk beberapa malam. Hal itu terus dilakukan sampai suatu ketika, pada malam 17 Ramadlan, bertepatan dengan 6 Agustus tahun 610 Masehi, tiba-tiba wahyu itu datang kepadanya.

Tentang peristiwa tersebut, Nabi saw. pernah berkisah, "Malaikat itu menarik dan merengkuhku, hingga aku merasa kelelahan. Lalu ia melepaskanku seraya berkata, 'Bacalah!' Aku menjawab, 'Aku tidak dapat membaca!' Dia menarik dan merengkuhku lagi, hingga aku merasa kelelahan. Kemudian ia melepaskan sambil berkata, 'Bacalah!' Aku menjawab, 'Aku tidak dapat membaca!' Dan untuk yang ketiga kalinya ia menarik dan merengkuhku sehingga aku merasa kelelahan, lalu ia melepaskanku dan berkata, 'Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan! Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu teramat Mulia, Yang mengajarkan manusia dengan pena (tulis baca)! Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.'" (QS. Al-'Alaq: 1-5)

Baginda saw. pulang dalam keadaan gemetar, ia masuk ke rumah, seraya bersabda, "Selimuti aku, selimuti aku!" ia meminta kepada Khadijah ra. Demi mendengar itu, isteri yang penurut dan setia itu pun segera menyelimutinya.

Setelah sedikit reda cemasnya, Nabi saw. bersabda lagi, "Hai Khadijah, apa yang telah terjadi denganku?" Lalu ia menceritakan seluruh peristiwa yang dialaminya. "Aku benar-benar cemas terhadap diriku!" lanjut Nabi saw. kemudian.

Tatkala mendengar ungkapan kegelisahan suami tercinta, Khadijah ra. isteri yang bijaksana itu sedikitpun tidak memperlihatkan kekhawatiran, kecemasan hatinya, namun dengan khidmat ia menatap muka sang suami, seraya berkata, "Bergembiralah, wahai anak pamanku, tetapkanlah hatimu, demi Tuhan yang jiwa Khadijah di dalam tangan-Nya, aku berharap engkaulah yang akan menjadi nabi bagi umat kita ini. Allah tidak akan mengecewakan engkau! Bukankah engkau yang senantiasa berkata benar, yang selalu menguatkan tali silaturahim, bukankah engkau yang senantiasa menolong anak yatim, memuliakan tetamu, dan membantu setiap orang yang ditimpa kemalangan dan kesengsaraan?" demikianlah Ummu al-Mu'minîn Khadijah ra. menenteramkan hati suaminya tercinta, Baginda Nabi saw.

Dukungan keimanan ternyata tidak hanya oleh Ummu al-Mu'minîn sebagai isteri setia, namun disusul juga oleh putera pamannya sendiri yang masih muda belia, Ali bin Abi Thalib, budak Baginda saw. yang kemudian menjadi anak angkatnya, Zaid bin Haritsah, dan seorang sahabat setia, kawan sejati, sehidup semati, Abu Bakar Ash-Shiiddiq radliyallâhu ta'âlâ 'anhum wa radlû 'anhu.  
 
Dalam suatu riwayat disebutkan, selama kurang lebih dua setengah tahun lamanya sesudah menerima wahyu yang pertama, barulah kemudian Baginda Nabisaw. menerima wahyu yang kedua. Di kala menanti turunnya wahyu kedua itu, kembali Nabi saw. diliputi perasaan gelisah, cemas jika saja wahyu tersebut putus. Namun dalam keadaan setengah hati itu, dengan menetapkan tekad, Nabisaw. terus melakukan tahannuts sebagaimana biasa, menyepi, sendiri di Gua Hira'. Tatkala itu, tiba-tiba terdengarlah suara dari langit, ia menengadah, terlihatlah Malaikat Jibril as. sehingga ia menggigil terkejut, dan segera pulang ke rumah.

Kemudian meminta Ummu al-Mu'minîn ra. saat itu, sekali lagi, untuk menyelimutinya. Dalam keadaan berselimut itulah, datang Jibril as. menyampaikan wahyu Allah Swt. yang kedua, sejumlah firman suci yang memberi kekuatan, semacam motivasi spiritual kepadanya, "Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan, dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak!" (QS. Al-Muddatstsir:1-6)

Sehingga dengan kalimat yang menyimpan kekuatan spiritual sebagai pemantapan mental maha dahsyat itulah semangat dan rasa percaya diri Nabi saw. dalam mengemban risalah suci Ilahi tersebut benar-benar tersimpul kuat dalam jiwanya, jiwa seorang utusan Tuhan, bahkan kekasih-Nya, sebagai teladan umat manusia.

***

Adalah menjadi sunnah orang berjuang, di awal langkah perjalanan spiritualnya akan mengalami suatu kondisi psikologis yang disebut dengan proses ishlah, semacam restorasi spiritual, improvement, atau dengan kata lain perbaikan kejiwaan menuju kesempurnaan mentalitas, disertai rasa yakin dan percaya diri yang terukur dengan baik.

Jika Nabi saw. mengalami peristiwa hampir serupa sebagaimana halnya Kalîmullâh Musa as., mengalami proses ishlah di awal hirarki perjuangannya, yang mungkin dapat dikatakan sebagai masa orientasi sebelum memasuki rentang waktu yang panjang mengemban rugas suci nan berat yang akan dijalaninya itu. Maka realitas tersebut, peristiwa pada lembaran sejarah yang mencatat kisah mereka, adalah entitas yang menjadi materi penting bagi kita, sebagai umat yang hidup sesudahnya, untuk mengambil teladan, belajar makna semangat, mempersiapkan mental, dan menanamkan rasa percaya diri yang kuat, demi suatu perjuangan yang panjang dalam menapaki hidup penuh rintangan.

Sebagaimana Kalîmullâh Musa as. memperoleh dukungan moral dan motivasi yang menenteramkan jiwa dari Nabi Syu'aib as., mertua sekaligus guru pembimbing spiritualnya. Demikian pula Baginda Nabi Muhammad saw. memperoleh hal yang serupa dari seorang kerabat dekatnya, Waraqah bin Naufal, dimana dalam suatu kesempatan ia berkata kepada Nabi saw., "Quddûs, Quddûs! Wahai (Muhammad) anak saudaraku, itu adalah rahasia paling besar yang pernah diturunkah Allah kepada Musa as. Wahai, kiranya aku dapat menjadi muda dan kuat, semoga aku masih hidup, dapat melihat, ketika engkau dikeluarkan (diusir) kaummu!"

Mendengar perkataan Waraqah yang sedemikian itu, Nabi saw. bertanya, "Apakah mereka (kaumku) akan mengusirku?"

Waraqah menjawab, "Ya, semua orang yang datang membawa seperti apa yang engkau bawa ini, mereka senantiasa dimusuhi. Jika saja aku menjumpai hari dan waktu engkau dimusuhi itu, aku akan menolong engkau dengan sekuat tenagaku!"

Kita butuh sosok spesial, berkarakter ideal, sebagaimana Syu'aib, Harun dan Shafura bagi Kalîmullâh Musa as. Kita juga butuh sosok spesial, berkarakter ideal, sebagaimana Waraqah bin Naufal, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Khadijah bagi Baginda Muhammad saw. Atau setidaknya sepersekian persen saja dari sejumlah karakter mulia tersebut, kita sangat membutuhkannya. Kita butuh rengkuhan dan dekapan ruhani, sebagai faktor penguat spiritual yang mampu mengukuhkan pijakan dalam melangkah. Kita juga butuh selimut keyakinan, dan dukungan orang-orang tercinta, yang memberi hangat ketenteraman agar semangat, ketika kemudian harus bangkit kembali mendengar panggilan suci, qum fa andzir, bangun dan berilah peringatan!  

Demikianlah para pejuang kebenaran, para pembela ajaran sejati, pengemban agama suci; di setiap periode, di ruang waktu yang berbeda, akan mengalami suatu masa sulit, sebagai sunnah perjuangan. Dan ketika itulah para pembela, pendamping setia, hadir membela, membuktikan perhatian dan dukungannya sepenuh jiwa raga.

Namun, ada hal yang lebih besar dari itu semua, suatu restosari spiritual, improvement Ilahi, akan datang, turun ke dalam hati para pejuang sejati, menguatkan semangat, meneguhkan tekad, dan menggerakkan nilai-nilai maknawi menjadi entitas, berwujud, mengejawantah, sebagai suatu gerak langkah bernama perjuangan nyata, menorehkan tinta emas dalam lembaran panjang sejarah.

Semoga semangat suci itu teranugerahkan pada setiap aktifitas kita, di antara hari-hari yang datang dan pergi; teresap oleh setiap dada, pada hasrat, pada helaan nafas, hirup hembus dan aliran darah. Maka, selalu bersemangatlah!






Pengasuh PON-PES Salafiyah Syafi'iyah
Sukorejo Situbondo

JAWA - TIMUR

I H M E

Apa sih IHME itu ?

IHME  yaitu  singkatan dari Indonesian Hoteliers Middle East
adalah sebuah Perhimpunan Pekerja Professional Perhotelan Indonesia di Timur Tengah
Mengapa Organesasi  Perhimpunan Pekerja Indonesia di timur tengah harus memakai istilah Bahasa Asing..?

Pemakaian Bahasa bahasa asing untuk nama Organesasi, di karenakan lokasi  kerja  kita berada di wilayah international dan untuk dapat di kenal oleh masyarakat international makanya kita menggunakan bahasa Internasional.

Kapan IHME itu didirikan..?

IHME didirikan secara resmi pada tanggal 02 Juni 2009, atas prakarsa Bapak Angkoso Soekadari (General Manager Hotel Sevilla Mekkah)/GM pertama berkebangsaan INDONESIA.
Dengan tujuan sebagai salah satu sarana komunikasi bagi sesama pekerja professional perhotelan Indonesia  dan juga sebagai salah satu usaha untuk  meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan di antara sesama anak bangsa yang bekerja di Timur Tengah.

Kegiatan apa saja yang di lakukan IHME..?

·      Salah satu kegiatan saling tukar informasi mengenai  kesempatan kerja yang kita posting Melalui Face Book.
·         Mengadaan kegiatan bersama anggota seperti olah raga, tour dan gathering
·       Mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi anggota demi meningkatkan ketrampilan, pengetahuan  baik bidang Perhotelan maupu kemampuan berbahasa Asing
·      Mengadakan kegiatan positive lainya yang kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan tali silaturahmi bagi sesama Pekerja Perhotelan di Timur Tengah.



Pembina I H M E





Hadîtsun Nafsi

"Suara-suara itu, ya Robbi
Mengapa ada disini, di dalam hati
Mengusik sunyi, berulang kali."
W A A. IBRAHIMY


Alkisah, suatu hari Rûhullôh 'Isa bin Maryam as. menjenguk seorang perempuan lacur di rumahnya. Ketika salah seorang dari Hawariyyun – murid dan sahabat yang menyertainya – melihat kejadian itu, tiba-tiba muncul di benaknya rasa heran. Lalu ia pun bertanya, "Wahai Rûhullôh, apa yang engkau lakukan disini?"
         Seorang tabib yang saat itu ikut menyertainya menjawab, "Beliau hanya mengobati seseorang yang sedang terbaring sakit."

***
         Kisah ini menjadi teladan berharga bagi kita, teladan dikala mengalami keterusikan berprasangka, saat dimana benak kita menyimpan pertanyaan, kecurigan, atau dugaan tentang sesuatu yang mungkin akan mengakibatkan keruhnya hati yang semestinya tetap terjaga kebeningannya, shofâ' al-qalb, sehingga menghilangkan kebaikan maknawi di dalam jiwa.

         Lihatlah kembali jawaban yang telah diberikan sang tabib atas pertanyaan salah seorang Hawariyyûn tersebut. Ucapannya sangat tepat, dan menjadi landasan bersikap yang baik untuk membela Rûhullôh as. dari dugaan buruk yang mungkin ditujukan kepadanya. Karena sebenarnya betapa tak pantas bila pertanyaan tersebut menjadi lebih jauh lagi, hingga mengarah pada buruk sangka, su'udhon. Melihat bahwa kedudukan Rûhullôh 'Isa as. adalah seorang nabi dan rasul. Hasyâ wa kallâ! Bukankah sifat ma'shûm yang disandangnya telah menolak atas dugaan buruk tersebut?

         Akhî fillâh, Ukhtî fillâh! Kisah ini akan menjadi semakin nyata disaat kita sendiri yang mengalaminya, saat dimana suara-suara batin mengusik jiwa, mengajak pikiran dan perasaan untuk berburuk sangka. Bila ini terjadi, maka siapapun akan terkena sasarannya, tanpa memilah kawan atau lawan. Di dalam batin suara-suara itu suatu saat membisikkan hasrat baik, namun di saat yang lain ia juga bisa membisikkan hasrat buruk.

         Suara-suara batin itu bila kita biarkan tanpa suatu usaha pengalihan, maka syetan akan tertarik untuk bergabung dengannya, dan mengarahkan kepada bentuk lain yang semakin nyata keburukannya. Ia tak akan menyiakan kesempatan tersebut, hingga pada proses selanjutnya kita akan mudah memastikan suatu dugaan sebagai hal yang benar tanpa dasar pembuktiannya terlebih dahulu. Kita akan jadi mudah mengungkapkan dugaan buruk dalam suatu pembicaraan, bahkan hal itu terasa begitu mengasyikkan, larut, dan akhirnya kita pun sering berghaibah tanpa harus lagi merasa berdosa, menuduh orang lain berbuat cela tanpa ada bukti yang nyata.

         Kita jadi hanyut dalam prasangka-prasangka, kita akan terus tenggelam dalam kebimbangan jiwa, dan pada gilirannya nanti, di tahap kondisi yang paling buruk, tak ada seorang pun di dunia ini yang dapat dipercaya, setiap orang seolah tak amanah, semua dianggap sama. Kita jadi lupa untuk memaklumi kekurangan orang lain, kekurangan yang mungkin ada pada setiap orang, memahami bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan. Pada akhirnya kita merasa bahwa hidup ini sepi dari orang-orang yang dapat dipercaya. Kita terlalu pendek dalam berpikir, hingga menyimpulkan suatu keadaan tanpa kejernihan pikiran dan perasaan.

         Dalam kondisi yang demikian, sebenarnya jiwa kita pelan-pelan telah mengalami perubahan yang tak wajar, dengan kata lain kita sedang mengalami kelainan jiwa (psikopat), sehingga batin ini terasa sakit dan tertekan. Imam as-Syafi'i ra. telah mengamati kondisi semacam ini hingga dalam sebuah syairnya beliau berpesan, "Hindarilah kebimbangan jiwa dalam batas yang engkau mampu, karena memikulnya adalah suatu kegilaan." Kegilaan yang diakibatkan oleh tekanan batin semacam ini biasa disebut dengan peccatophobia.

         Lebih jauh lagi, sesungguhnya antara munculnya suara-suara batin dan buruk sangka, disitu ada proses pergeseran kepercayaan, kebimbangan dalam berprasangka. Dalam tahapan ini kita berada diantara dua gejolak hasrat. Hasrat yang satu ingin memuji dan hasrat yang lain ingin mencela. Kita seolah berada diantara tebing yang mungkin menyelamatkan dan jurang yang bisa mencelakakan. Dalam kondisi demikian kita bisa saja mendaki puncak kemuliaan dengan memuji dan berbaik sangka, disaat yang sama kita bisa saja jatuh terjerembab ke lembah kehinaan dengan mencela dan berburuk sangka. Wajah kita yang sedang memendam suara-suara batin dihadapkan pada dua pilihan yang membingungkan, tendensif, kita akan terus merasa bimbang sampai hasrat yang ada dalam diri kita memutuskan satu pilihan. Bila dugaan kita benar, maka setidaknya aib orang yang kita curigai terbukti nyata. Namun bila dugaan kita salah, maka kita telah melakukan kesalahan berburuk sangka, su'udhon, dan tentu keduanya itu bernilai dosa.

         Akhî fillâh, Ukhtî fillâh! Bimbang dalam menduga adalah kata lain dari lintasan perasaan yang sering kali membuat gejolak dalam jiwa. Kemunculannya sulit diterka, tak terduga, dan tanpa disengaja. Bila kebimbangan ini berjalan dalam pikiran selintas lalu, lewat begitu saja, tak mengendap hingga menjadi segumpal keinginan kuat, atau yang lazim disebut dengan 'azam, maka ia hanyalah sekedar suara-suara batin yang tak terkendali, dan ini ditolerir oleh Nabi saw., sebagaimana sabda beliau, "Sesungguhnya Alloh Swt. mengampuni umatku dari sesuatu yang telah dibicarakan oleh diri (batin) mereka, selama mereka tidak mengatakan (dengan lisan) atau melakukannya (dengan perbuatan)." (HR. Bukhari, Muslim)

         Alloh Swt. berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ الله ُنَفْساً إلاَّ وُسْعَهَا ۚ  لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
"Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS. al-Baqarah: 286)

         Meski begitu, suara-suara batin itu akan terus bergentayangan membuat kebimbangan dalam diri selama kita belum terjebak oleh dua sikap yang saling bertentangan. Sikap antara mudah berburuk sangka (istirsâl) dan terlalu berbaik sangka (husnudhon). Keadaan ini tak kan berubah, dan menjadi ibtilâ' setiap hamba sepanjang hidupnya.

         Disaat mudah berburuk sangka, kita akan cepat mengikuti nafsu untuk mencela. Dan disaat terlalu berbaik sangka, kita akan suka memuji kebaikan seseorang tanpa menyadari keterbatasan yang dimilikinya.

         Bimbang dalam menduga sesuatu seperti diatas akan terus berlangsung, terus menyala dalam jiwa bila selalu dibakar oleh rasa curiga. Sebaliknya, ia akan padam bila disiram oleh rasa percaya, husnuts tsiqoh.
         Akhî fillâh, ukhtî fillâh! Kisah berharga tentang keteladanan dan tarbiyah ruhani telah dihadirkan oleh sejarah kepada kita, hadir sebagai panduan akhlak mulia. Bacalah kisah Rosulullah saw., sungguh Maha Suci Alloh yang telah menjadikannya sebagai qudwah hasanah bagi umat manusia!

         Suatu malam, saat suasana sunyi dan cahaya remang, Baginda Nabi saw. sedang bersama ummul mu'minînShofiyah ra. bercengkerama di dekat pintu masjid. Tiba-tiba dua orang laki-laki Anshor melintas, berpapasan jalan dengan Baginda. Setelah mereka tahu bahwa salah satu dari orang yang ditemuinya adalah Nabi saw., seketika itu juga keduanya segera mempercepat langkah untuk pergi.
         "Pelanlah, dia adalah Shofiyah binti Huyay!" sabda Nabi memberi tahu.

         Mendengar itu salah seorang dari mereka pun menjawab, "Subhânallôh, saya tidak menaruh curiga kepada engkau, ya Rasulalloh!"  wajah kedua orang itu tampak tak menentu, terlihat serba rikuh.
         "Sesungguhnya syetan mengalir dalam diri manusia mengikuti aliran darah, maka aku khawatir ia memuntahkan prasangka buruk pada hati kalian berdua!" dengan bijak Nabi menjelaskan maksud sabdanya tadi. (HR. Bukhari, Muslim)

***
         Rasanya tak terbayang betapa celakanya bila syetan benar-benar mengalir dalam diri kedua laki-laki Anshor tersebut, mengikuti aliran darah, lalu memuntahkan prasangka buruk pada hati mereka.  Karena sosok yang ada di hadapan mereka ini bukanlah manusia seperti layaknya manusia biasa, tapi ia adalah manusia termulia, manusia pilihan, teladan, ma'shum, terpelihara dari segala cela dan dosa, basyarun lâ kal basyar. Dan bersyukurlah, karena Baginda saw. segera mengingatkannya.

         Akhî fillâh, Ukhtî fillâh! Bila kenyataan itu sebaliknya, maka betapa celaka, celaka, dan celakanya! Ini seperti yang telah dialami oleh Dzul Khuwaisiroh, laki-laki yang telah menuntut keadilan kepada Nabi saw., dan mengatakan bahwa pembagian yang dilakukan Baginda tidaklah adil. Dzul Khuwaisiroh tak mau mengedepankan husnudhon, mengambil sikap yang lebih baik, mahmal hasan. Tak memahami hikmah syar'i dari sikap keputusan Nabi saw. Ia telah lebih dahulu berburuk sangka. Maka celakalah ia, bahkan dirinya dan anak keturunannya. Dari sulbi mereka muncul kemudian bibit Khawarij, kelompok yang memisahkan diri dari jama'ah kaum muslimin.

         Karena itu kita mesti berusaha untuk memahami dengan bijak apakah hasrat yang ada di dalam batin ini adalah suatu kedurhakaan atau bukan. Karena bila kenyataannya ia merupakan hasrat tercela yang bisa memunculkan rencana durhaka, maksiat, atau bahkan sampai pada suatu keinginan kuat, ber'azam untuk melakukannya, maka hal itu sangat bernilai dosa.

" Alloh Swt. telah berfirman,"
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Alloh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Alloh? — Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (QS. Âli 'Imrân: 135)

         Berbeda halnya dengan yang meneruskan perbuatan keji, atau menyimpan dendam kesumat di dalam hati, maka keduanya ini termasuk mereka yang celaka. Sebagaimana sabda Nabi saw. ,"'Apabila dua orang muslim mengadu kedua pedangnya (saling membunuh, maka pembunuh dan yang terbunuh berada di neraka!' lalu Nabi ditanya, 'Wahai Rasululloh! Dia ini (nyata perkaranya sebagai) pembunuh, lalu apa perkara yang terbunuh?' Nabi saw. menjawab, 'Dia dahulu sangat menginginkan (mendendam) kematian sahabatnya!'" (HR. Bukhari)

         Akhi fillâh, Ukhtî fillâh! Adalah suatu keharusan bagi setiap muslim yang teguh dengan keyakinannya untuk menolak setiap hasrat tercela, menghindar dari kekeruhan yang disebabkan oleh suara-suara batin menggoda, dengan segera mengalihkannya kepada hasrat baik yang membimbing kepada takwa, menjaga kebeningan jiwa, meraih kebahagiaan tiada tara. Bukankah Nabi saw. juga bersabda, "Tinggalkan apa yang engkau ragukan (beralih) kepada apa yang tidak engkau ragukan!" (HR. Tirmidzi dan Nasa'i)

         Ingat kata pepatah, "Ambillah yang jernih, dan tingalkan yang keruh!" lalu renungkan Firman Alloh Swt., "Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang." (QS. al-A'lâ: 14-15)




Pengasuh PON-PES Salafiyah Syafi'iyah
Sukorejo Situbondo
JAWA - TIMUR

DAHSYATNYA BASMALAH

Ketika wahyu Ilahi, kalimat basmalah, turun kepada semesta, kandela – bias cahaya –  menakjubkan setiap yang menyaksikan; awan kelam berarak menjauh ke arah timur, angin diam tak berhembus, laut tenang tak bergelombang, binatang jadi terhenyak, telinga yang bernyawa semua menyimak, dan syaitan pun terlempar kutuk; kala itu Allah Sang Maha Kuasa pun bersumpah dengan nama kemuliaan-Nya, dengan nama keagungan-Nya, bahwa tak kan pernah disebut nama-Nya atas segala sesuatu yang ada, kecuali semua menjadi berkah.
***
Sebegitu hebatkah kalimat basmalah? Bagaimana mungkin kalimat basmalah tidak memiliki kekuatan yang menakjubkan, jika ternyata kandungan maknanya teramat dahsyat?!
Apakah karena secara matematis huruf basmalah menggunakan bilangan prima 19, dimana bilangan tersebut secara matematika ditafsiri sebagai kunci rahasia sistem proteksi al-Qur'an dari upaya pemalsuan? Apakah hal ini benar-benar merupakan bagian dari master plan Allah dengan segala rahasia-Nya? Atau ada rahasia lain, sebagaimana yang juga diyakini, bahwa siapa yang ingin diselamatkan dari Zabaniyah yang berjumlah 19, malaikat berkarakter keras dalam menyiksa, maka bacalah bismillâhirrahmânirrahîm, niscaya Allah akan menjadikan setiap hurufnya sebagai benteng bagi si pembaca dari setiap Zabaniyah?

Bila kita telaah lebih seksama, kalimat bismillâhirrahmânirrahîm, lebih khusus kalimat bi ismi adalah berkaitan dengan kata kerja yang diperkirakan setelahnya sesuai dengan jenis aktifitas yang sedang dikerjakan. Misalnya kita membaca basmalah ketika hendak melangkah ke suatu majelis kebajikan, maka perkiraan kalimatnya secara lengkap adalah, "Dengan menyebut nama Allah aku melangkah ke majelis kebajikan…" demikian seterusnya, dengan berbagai jenis aktifitas yang ada. Fungsi kata kerja yang diperkirakan setelah kalimat bi ismi itu ada dua. Pertama adalah tabarruk, mengharap berkah, dengan mendahulukan asma Allah Swt. sebelum menentukan aktifitas apapun yang akan kita lakukan. Kedua adalah pembatasan maksud. Seolah kita berkata, "Aku tidak melakukan aktifitas apapun, dengan menyebut nama siapapun, untuk mengharap berkah dengannya, dan untuk meminta pertolongan darinya, selain nama Allah Swt."

Dengan bertambah seksama lagi kita telaah, diketahui bahwa huruf bâ' dari kalimat basmalah adalah lebih menunjukkan makna isti'ânah, meminta pertolongan hanya kepada Allah Swt. Bukankah Nabi saw. telah mengajarkan, "Idza ista'anta fa ista'in billâh!", jika engkau meminta pertolongan, maka minta tolonglah kepada Allah! (HR. Tirmidzi) Pada isti'ânah ini terdapat makna memasrahkan segala daya dan upaya hanya kepada Allah semata, juga proklamasi rasa butuh diri kita sebagai seorang hamba kepada-Nya di kala tubuh kita menghasilkan gerak langkah aktifitas apapun, bagaimanapun, dan kapanpun. Sebagaimana kita telah meminta tolong kepada Dzat Yang Maha Kuasa, demikian pula kita meminta tolong melalui nama-nama-Nya yang mulia.

Lafzh al-Jalâlah (Allâh) merupakan nama bagi Allah, Tuhan semesta raya, selain Allah tidak boleh diberi nama dengan-Nya. Nama "Allâh" merupakan asal, adapun nama-nama Allah selain lafzh al-Jalâlah tersebut adalah cabang darinya. Penyebutan lafzh al-Jalâlah berkonsekuensi pada keluhuran, kekuasaan, dan lindungan-Nya (lihat QS. Al-Baqarah: 257).

Di balik pengucapan lafzh al-Jalâlah, ketika lisan kita melafalkan "Allâh"  bila dikaji secara fisiologis, pengucapan huruf "A" dari lafzh al-Jalâlah adalah dapat melapangkan sistem pernapasan kita, serta berfungsi mengontrol gerak nafas dalam rongga dada. Kemudian saat mengucapkan huruf "Lâm" dari lafzh al-Jalâlah, kondisi ini dapat menimbulkan pengaruh yang nyata terhadap relaksasi pernapasan. Dan ketika mengucapkan huruf terakhir "H" dari lafzh al-Jalâlah, tepat pada saat kita melakukannya, hal ini telah membuat kontak antara paru-paru dan jantung, yang pada gilirannya kontak ini dapat mengontrol denyut jantung secara baik dan sempurna.

Adapun kata "al-Rahmân" adalah bermakna Dzat Yang memiliki kasih sayang teramat luas. Bentuk kosa kata ini menunjukkan makna keluasan yang berkonsekuensi pada cinta-Nya. Sedangkan kata "ar-Rahîm" adalah bermakna Dzat Yang mencurahkan kasih sayang kepada setiap hamba-Nya yang dikehendaki. Bentuk kosa kata ini menunjukkan makna terlaksananya kasih sayang tersebut. Di sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih sayang sebagai karakter Dzat Allah seperti yang terkandung dalam nama "al-Rahmân", dan kasih sayang yang merupakan perbuatan Allah yang mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang disayangi-Nya, seperti yang terkandung dalam nama al-Rahîm.

Karena alasan itu juga, leluhur kita, manusia pertama dicipta atas bentuk pencitraan sifat al-Rahmân, sebagai cermin yang memantulkan seberkas cahaya dari Maha Cahaya, Sang Realitas Tertinggi. Esensi wujudnya adalah bertugas menjalankan peran kemanusiaan dengan mengatasnamakan Allah, bismillâh, atas nama kuasa-Nya; al-Rahmân al-Rahîm, yang berkarakter penuh kasih dan sayang.  Karena sesungguhnya sebagai manusia, kita sedang memerankan rencana besar dari sejumlah skenario Ilahi di alam semesta, sebagai sosok yang berbakat untuk memahami berbagai pesan ketuhanan yang suci, bersama sejumlah perangkat kerja yang dimiliki dan efektifitas paripurna, agar menjadi objek firman-Nya yang mulia.
***
Apalah artinya kalimat yang kita ucapkan, bila tak disertai keyakinan. Karena sesungguhnya keyakinanlah yang menghubungkan rahasia makna basmalah yang kita ucapkan ke dalam hati, hingga menjadi potensi kekuatan yang maha dahsyat!.

Kekuatan ini terdapat dalam jiwa orang mukmin sejati, jiwa yang disebutkan al-Qur'an, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (ni'mat) yang mulia." (QS. Al-Anfâl: 2-4).

Cahaya iman seperti inilah yang kemudian mentransfer energi ruhani maha dahsyat pada setiap jiwa orang mukmin yang sejati dalam keyakinannya. Sehingga  kalimat basmalah yang diucapkan mampu menghasilkan daya kekuatan sangat menakjubkan. "Gemetarlah karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah." (QS. Az-Zumar: 23) Suatu kekuatan bersumber dari energi ruhani bernama keyakinan, sebagaimana keyakinan para nabi, kaum shiddîqîn, kaum syuhadâ', dan shâlihîn.

Namun, ketika kalimat basmalah bekerja, bukan berarti lompatan hirarki perjuangan harus terjadi, bukan pula harus terjadi mukjizat. Tidak. Basmalah bukanlah mantra bim sala bim para penyihir, akan tetapi kalimat ampuh yang bekerja sesuai hukum kausalitas, sunnatullâh di alam semesta, dengan nilai tambah keberkahan dan kedahsyatannya sebagaimana dirasakan oleh mereka yang telah benar-benar meyakininya. Basmalah adalah kata kerja, bukan kata sifat yang hanya bertumpu menumpang pada suatu entitas lain.

***
Tatkala Allah Swt. mewahyukan kalimat basmalah kepada Adam as., bapak umat manusia, ia terkesiap takjub, lalu berkata, "Wahai Jibril, nama apakah ini yang langit dan bumi tegak dengannya, air mengalir dan gunung terpancang dengannya, kemudian menetap berada di bumi, hingga hati kecil setiap makhluk menjadi kuat dengannya?!"

Bapak umat manusia kedua, Nabi Nuh as. tatkala hendak mengarungi bandang besar dengan bahteranya yang menjadi legenda sepanjang sejarah, ia berseru kepada kaumnya, "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya, bismillâh, dengan menyebut nama Allah, di waktu berlayar dan berlabuhnya." (QS. Hûd: 41). Hanya dengan separuh kalimat saja, Nabi Nuh as. dan kaumnya selamat. Lalu bagaimana dengan yang sepanjang hidupnya membaca kalimat tersebut secara kontinu dan sempurna, mungkinkah ia akan terhalang dari keselamatan abadi?
Dikisahkan juga bahwa tatkala Nabi Musa as. mengalami sakit, Allah Swt. berfirman kepadanya, "Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah racun yang mematikan, sedangkan penawarnya adalah nama-Ku!"

Bacalah kemudian kisah Nabi Sulaiman as., tatkala mengirim surat kepada Ratu Balqis, penguasa bangsa Saba', kaum penyembah matahari, melalui seekor burung Hud-hud. Ketika sepucuk surat terlempar jatuh dari udara, diambilnya surat itu oleh Balqis, matanya menatap tajam, bibirnya bergerak mengeja, "Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman, dan sesungguhnya (isi)nya, 'Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, bahwa janganlah kamu sekalian bersikap sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.'" (QS. An-Naml: 30-31). Setelah dibacanya surat itu, Ratu Balqis memanggil para pembesar dan penasihat kerajaan untuk berkumpul memusyawarahkan tindakan apa yang harus diambil sehubungan dengan surat Nabi Sulaiman as. tersebut. Para pembesar kerajaan menyatakan kesanggupan mereka untuk berperang, tidak akan gentar menghadapi segala ancaman dari mana pun datangnya demi menjaga keselamatan dan keselamatan kerajaan. Usai ditolak dengan tegas diplomasi pengiriman hadiah, Balqis berpikir, bahwa tak ada jalan terbaik untuk menyelamatkan diri dan kerajaannya kecuali menyerah saja kepada tuntutan Sulaiman dan datang menghadap ke istananya. Maka, setelah mengalami kegentaran psikologis, enggan dengan kekerasan, atau bahkan – lebih tepatnya – cemas akan kerusakan dan kehancuran yang mengancam peradaban Kerajaan Saba', Ratu Balqis pun datang lengkap dengan kekuatan penuh, kekuatan materi duniawi; memasrahkan diri, takluk, tunduk kepada kekuasaan Nabi Sulaiman as., kekuatan spiritualnubuwwah, kekuatan iman. Sekali lagi, semua ini memperlihatkan bagaimana efek kekuatan basmalah sebenarnya.

Dan pada akhirnya, renungkanlah kisah Baginda Nabi Muhammad saw. di awal perjuangan risalahnya ketika diperintah untuk membaca dengan menyebut nama Tuhan Yang telah menciptakan, iqra' bismi Rabbika al-ladzi khalaq. Dengan kalimat basmalah Baginda mulai melangkah, hingga menuai berkah, mengantarkannya kepada puncak kesuksesan Fathu Makkah, pembebasan kota Makkah, penyucian Baitullâh dari berhala-berhala. Karena sejak peletakan batu pertama revolusi Islam, Baginda Nabi saw. telah memulai dengan basmalah, maka kedahsyatan efektifitasnya kemudian mampu menggemparkan segala peradaban yang kala itu ada, peradaban Timur dan Barat, dari India, Persia, sampai Romawi. Seperti sentuhan lembut ujung jari yang mampu membuat gelombang perubahan di atas permukaan air yang tenang, gerakannya merubah sekian banyak ideologi dan kepercayaan. Memberi cahaya pengetahuan dan kebenaran kepada kelam kejahiliyahan peradaban.
Bukan dengan "atas nama bangsa" atau "atas nama seseorang" seharusnya kita membangun sejarah peradaban umat manusia, tetapi dengan basmalah, dengan Nama Allah Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa, peradaban akan terbentuk dari masyarakat sosial yang berkeadilan, berkemanusiaan, beriman dan bertakwa, terbangun penuh berkah.
***
Suatu ketika Baginda Nabi saw. ditanya tentang hakikat kalimat basmalah, beliau pun menjawab, "(Basmalah) itu adalah nama dari nama-nama Allah, jarak antara basmalah dan ismullâhi al-akbar (nama Allah yang teragung) laksana jarak antara lingkar hitam kedua mata dan bagian putihnya, karena sangat dekat."

Basmalah adalah rahasia Ilahi yang diketahui hanya oleh orang-orang pilihan yang sejati. Basmalah adalah perisai penyelamat dan pakaian yang melindungi kita, umat manusia, menghalangi dari pandangan jin yang memiliki potensi membuat malapetaka. Namun, kekuatan kalimat ini sebenarnya kembali kepada segumpal daging di dalam tubuh kita, segumpal hati dengan kekuatan keyakinannya yang istimewa, karena wa kullu man lam ya'taqid lam yantafi', setiap orang yang tidak meyakini, maka tak akan bermanfaat! 
***
Ketahuilah, semesta ini, seluruhnya, adalah gesture, lambang atau rumus yang menunjuk pada nama-nama Allah. Sedangkan setiap nama-Nya adalah menunjuk pada seluruh sifat-Nya yang kudus. Dan seluruh sifat-Nya adalah menunjuk pada keharusan eksistensi Dzat Allah, wujud-Nya Yang Maha Esa, karena tentu saja mustahil suatu sifat tegak sendiri tanpa adanya dzat. Maha Sucilah Yang bila seseorang berdzikir menyebut-Nya, maka ia menjadi mulia sebab dzikir tersebut!
Setiap sesuatu yang tercipta, dari yang terkecil sampai yang terbesar, dengan lisân al-hâl, bahasa tubuhnya, semua berdzikir, berkata, "Bismillâh." Atom, setiap satuan massa, molekul yang bersenyawa, semua yang berada pada kesinambungan gerak proton dan neutron dalam setiap partikelnya. Sel-sel makhluk hidup. Sebagaimana gerak putaran bumi, bulan, dan matahari pada porosnya. Sebagaimana kinerja bintang-bintang dari ledakan nova hingga supernova. Sekali lagi, seluruhnya  berputar, bergerak, berdzikir dengan bahasa tubuhnya sendiri-sendiri, berseru, "Bismillâh." Gerak segala sesuatu hanyalah ada, tercipta, dengan atas nama Allah. Bismillâhirrahmânirrahîm, dengan atas nama-Nya Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang. 

Bukankah awal mula wahyu yang difirmankan Allah Swt. kepada Sang Pena adalah perintah, "Tulislah!"
Kemudian ketika itu Sang Pena bertanya, "Wahai Tuhan, apa yang harus aku tulis?"
Maka Allah Swt. pun berfirman, "Bismillâhirrahmânirrahîm." Bergoncanglah Sang Pena karenanya. Dan ketika kalimatbasmalah ditulis, maka bergoncang pulalah Arasy karenanya.
Akhir kata, di saat zaman memperlihatkan fitnah yang semakin menantang, kita mesti segera bersikap, dengan semangat penuh kayikanan berucap bismillâh namsyî 'alâ barakâtillâh, dengan nama-Mu yang terindah, hamba melangkah atas berkah-Mu yang melimpah…





Pengasuh PON-PES Salafiyah Syafi'iyah 
Sukorejo Situbondo
JAWA - TIMUR