"Suara-suara
itu, ya Robbi
Mengapa ada
disini, di dalam hati
Mengusik
sunyi, berulang kali."
W A A. IBRAHIMY
W A A. IBRAHIMY
Alkisah, suatu hari Rûhullôh 'Isa bin Maryam as. menjenguk
seorang perempuan lacur di rumahnya. Ketika salah seorang dari Hawariyyun –
murid dan sahabat yang menyertainya – melihat kejadian itu, tiba-tiba muncul di
benaknya rasa heran. Lalu ia pun bertanya, "Wahai Rûhullôh, apa yang
engkau lakukan disini?"
Seorang tabib
yang saat itu ikut menyertainya menjawab, "Beliau hanya mengobati
seseorang yang sedang terbaring sakit."
***
Kisah ini
menjadi teladan berharga bagi kita, teladan dikala mengalami keterusikan
berprasangka, saat dimana benak kita menyimpan pertanyaan, kecurigan, atau
dugaan tentang sesuatu yang mungkin akan mengakibatkan keruhnya hati yang
semestinya tetap terjaga kebeningannya, shofâ' al-qalb, sehingga menghilangkan
kebaikan maknawi di dalam jiwa.
Lihatlah
kembali jawaban yang telah diberikan sang tabib atas pertanyaan salah seorang
Hawariyyûn tersebut. Ucapannya sangat tepat, dan menjadi landasan bersikap yang
baik untuk membela Rûhullôh as. dari dugaan buruk yang mungkin ditujukan
kepadanya. Karena sebenarnya betapa tak pantas bila pertanyaan tersebut menjadi
lebih jauh lagi, hingga mengarah pada buruk sangka, su'udhon. Melihat bahwa
kedudukan Rûhullôh 'Isa as. adalah seorang nabi dan rasul. Hasyâ wa kallâ!
Bukankah sifat ma'shûm yang disandangnya telah menolak atas dugaan buruk
tersebut?
Akhî fillâh,
Ukhtî fillâh! Kisah ini akan menjadi semakin nyata disaat kita sendiri yang
mengalaminya, saat dimana suara-suara batin mengusik jiwa, mengajak pikiran dan
perasaan untuk berburuk sangka. Bila ini terjadi, maka siapapun akan terkena
sasarannya, tanpa memilah kawan atau lawan. Di dalam batin suara-suara itu
suatu saat membisikkan hasrat baik, namun di saat yang lain ia juga bisa
membisikkan hasrat buruk.
Suara-suara batin itu bila kita biarkan tanpa
suatu usaha pengalihan, maka syetan akan tertarik untuk bergabung dengannya,
dan mengarahkan kepada bentuk lain yang semakin nyata keburukannya. Ia tak akan
menyiakan kesempatan tersebut, hingga pada proses selanjutnya kita akan mudah
memastikan suatu dugaan sebagai hal yang benar tanpa dasar pembuktiannya
terlebih dahulu. Kita akan jadi mudah mengungkapkan dugaan buruk dalam suatu
pembicaraan, bahkan hal itu terasa begitu mengasyikkan, larut, dan akhirnya kita
pun sering berghaibah tanpa harus lagi merasa berdosa, menuduh orang lain
berbuat cela tanpa ada bukti yang nyata.
Kita jadi
hanyut dalam prasangka-prasangka, kita akan terus tenggelam dalam kebimbangan
jiwa, dan pada gilirannya nanti, di tahap kondisi yang paling buruk, tak ada
seorang pun di dunia ini yang dapat dipercaya, setiap orang seolah tak amanah,
semua dianggap sama. Kita jadi lupa untuk memaklumi kekurangan orang lain,
kekurangan yang mungkin ada pada setiap orang, memahami bahwa setiap manusia
memiliki keterbatasan. Pada akhirnya kita merasa bahwa hidup ini sepi dari
orang-orang yang dapat dipercaya. Kita terlalu pendek dalam berpikir, hingga
menyimpulkan suatu keadaan tanpa kejernihan pikiran dan perasaan.
Dalam kondisi
yang demikian, sebenarnya jiwa kita pelan-pelan telah mengalami perubahan yang
tak wajar, dengan kata lain kita sedang mengalami kelainan jiwa (psikopat),
sehingga batin ini terasa sakit dan tertekan. Imam as-Syafi'i ra. telah
mengamati kondisi semacam ini hingga dalam sebuah syairnya beliau berpesan,
"Hindarilah kebimbangan jiwa dalam batas yang engkau mampu, karena
memikulnya adalah suatu kegilaan." Kegilaan yang diakibatkan oleh tekanan
batin semacam ini biasa disebut dengan peccatophobia.
Lebih jauh
lagi, sesungguhnya antara munculnya suara-suara batin dan buruk sangka, disitu
ada proses pergeseran kepercayaan, kebimbangan dalam berprasangka. Dalam
tahapan ini kita berada diantara dua gejolak hasrat. Hasrat yang satu ingin
memuji dan hasrat yang lain ingin mencela. Kita seolah berada diantara tebing
yang mungkin menyelamatkan dan jurang yang bisa mencelakakan. Dalam kondisi
demikian kita bisa saja mendaki puncak kemuliaan dengan memuji dan berbaik
sangka, disaat yang sama kita bisa saja jatuh terjerembab ke lembah kehinaan
dengan mencela dan berburuk sangka. Wajah kita yang sedang memendam suara-suara
batin dihadapkan pada dua pilihan yang membingungkan, tendensif, kita akan
terus merasa bimbang sampai hasrat yang ada dalam diri kita memutuskan satu pilihan.
Bila dugaan kita benar, maka setidaknya aib orang yang kita curigai terbukti
nyata. Namun bila dugaan kita salah, maka kita telah melakukan kesalahan
berburuk sangka, su'udhon, dan tentu keduanya itu bernilai dosa.
Akhî fillâh,
Ukhtî fillâh! Bimbang dalam menduga adalah kata lain dari lintasan perasaan
yang sering kali membuat gejolak dalam jiwa. Kemunculannya sulit diterka, tak
terduga, dan tanpa disengaja. Bila kebimbangan ini berjalan dalam pikiran
selintas lalu, lewat begitu saja, tak mengendap hingga menjadi segumpal
keinginan kuat, atau yang lazim disebut dengan 'azam, maka ia hanyalah sekedar
suara-suara batin yang tak terkendali, dan ini ditolerir oleh Nabi saw.,
sebagaimana sabda beliau, "Sesungguhnya Alloh Swt. mengampuni umatku dari
sesuatu yang telah dibicarakan oleh diri (batin) mereka, selama mereka tidak
mengatakan (dengan lisan) atau melakukannya (dengan perbuatan)." (HR.
Bukhari, Muslim)
Alloh Swt.
berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ الله ُنَفْساً إلاَّ
وُسْعَهَا ۚ لَهَا
مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
"Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS.
al-Baqarah: 286)
Meski begitu,
suara-suara batin itu akan terus bergentayangan membuat kebimbangan dalam diri
selama kita belum terjebak oleh dua sikap yang saling bertentangan. Sikap
antara mudah berburuk sangka (istirsâl) dan terlalu berbaik sangka (husnudhon).
Keadaan ini tak kan berubah, dan menjadi ibtilâ' setiap hamba sepanjang
hidupnya.
Disaat mudah
berburuk sangka, kita akan cepat mengikuti nafsu untuk mencela. Dan disaat
terlalu berbaik sangka, kita akan suka memuji kebaikan seseorang tanpa
menyadari keterbatasan yang dimilikinya.
Bimbang dalam
menduga sesuatu seperti diatas akan terus berlangsung, terus menyala dalam jiwa
bila selalu dibakar oleh rasa curiga. Sebaliknya, ia akan padam bila disiram
oleh rasa percaya, husnuts tsiqoh.
Akhî fillâh,
ukhtî fillâh! Kisah berharga tentang keteladanan dan tarbiyah ruhani telah
dihadirkan oleh sejarah kepada kita, hadir sebagai panduan akhlak mulia.
Bacalah kisah Rosulullah saw., sungguh Maha Suci Alloh yang telah menjadikannya
sebagai qudwah hasanah bagi umat manusia!
Suatu malam,
saat suasana sunyi dan cahaya remang, Baginda Nabi saw. sedang bersama ummul
mu'minînShofiyah ra. bercengkerama di dekat pintu masjid. Tiba-tiba dua orang
laki-laki Anshor melintas, berpapasan jalan dengan Baginda. Setelah mereka tahu
bahwa salah satu dari orang yang ditemuinya adalah Nabi saw., seketika itu juga
keduanya segera mempercepat langkah untuk pergi.
"Pelanlah, dia adalah Shofiyah binti Huyay!" sabda Nabi
memberi tahu.
Mendengar itu
salah seorang dari mereka pun menjawab, "Subhânallôh, saya tidak menaruh
curiga kepada engkau, ya Rasulalloh!"
wajah kedua orang itu tampak tak menentu, terlihat serba rikuh.
"Sesungguhnya syetan mengalir dalam diri manusia mengikuti aliran
darah, maka aku khawatir ia memuntahkan prasangka buruk pada hati kalian
berdua!" dengan bijak Nabi menjelaskan maksud sabdanya tadi. (HR. Bukhari,
Muslim)
***
Rasanya tak
terbayang betapa celakanya bila syetan benar-benar mengalir dalam diri kedua
laki-laki Anshor tersebut, mengikuti aliran darah, lalu memuntahkan prasangka
buruk pada hati mereka. Karena sosok
yang ada di hadapan mereka ini bukanlah manusia seperti layaknya manusia biasa,
tapi ia adalah manusia termulia, manusia pilihan, teladan, ma'shum, terpelihara
dari segala cela dan dosa, basyarun lâ kal basyar. Dan bersyukurlah, karena
Baginda saw. segera mengingatkannya.
Akhî fillâh,
Ukhtî fillâh! Bila kenyataan itu sebaliknya, maka betapa celaka, celaka, dan
celakanya! Ini seperti yang telah dialami oleh Dzul Khuwaisiroh, laki-laki yang
telah menuntut keadilan kepada Nabi saw., dan mengatakan bahwa pembagian yang
dilakukan Baginda tidaklah adil. Dzul Khuwaisiroh tak mau mengedepankan
husnudhon, mengambil sikap yang lebih baik, mahmal hasan. Tak memahami hikmah
syar'i dari sikap keputusan Nabi saw. Ia telah lebih dahulu berburuk sangka.
Maka celakalah ia, bahkan dirinya dan anak keturunannya. Dari sulbi mereka
muncul kemudian bibit Khawarij, kelompok yang memisahkan diri dari jama'ah kaum
muslimin.
Karena itu
kita mesti berusaha untuk memahami dengan bijak apakah hasrat yang ada di dalam
batin ini adalah suatu kedurhakaan atau bukan. Karena bila kenyataannya ia
merupakan hasrat tercela yang bisa memunculkan rencana durhaka, maksiat, atau
bahkan sampai pada suatu keinginan kuat, ber'azam untuk melakukannya, maka hal
itu sangat bernilai dosa.
" Alloh Swt. telah berfirman,"
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Alloh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Alloh? — Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (QS. Âli 'Imrân: 135)
" Alloh Swt. telah berfirman,"
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Alloh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Alloh? — Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (QS. Âli 'Imrân: 135)
Berbeda
halnya dengan yang meneruskan perbuatan keji, atau menyimpan dendam kesumat di
dalam hati, maka keduanya ini termasuk mereka yang celaka. Sebagaimana sabda
Nabi saw. ,"'Apabila dua orang muslim mengadu kedua pedangnya (saling
membunuh, maka pembunuh dan yang terbunuh berada di neraka!' lalu Nabi ditanya,
'Wahai Rasululloh! Dia ini (nyata perkaranya sebagai) pembunuh, lalu apa
perkara yang terbunuh?' Nabi saw. menjawab, 'Dia dahulu sangat menginginkan
(mendendam) kematian sahabatnya!'" (HR. Bukhari)
Akhi fillâh,
Ukhtî fillâh! Adalah suatu keharusan bagi setiap muslim yang teguh dengan
keyakinannya untuk menolak setiap hasrat tercela, menghindar dari kekeruhan
yang disebabkan oleh suara-suara batin menggoda, dengan segera mengalihkannya
kepada hasrat baik yang membimbing kepada takwa, menjaga kebeningan jiwa,
meraih kebahagiaan tiada tara. Bukankah Nabi saw. juga bersabda,
"Tinggalkan apa yang engkau ragukan (beralih) kepada apa yang tidak engkau
ragukan!" (HR. Tirmidzi dan Nasa'i)
Ingat kata pepatah, "Ambillah yang
jernih, dan tingalkan yang keruh!" lalu renungkan Firman Alloh Swt.,
"Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) dan
dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang." (QS. al-A'lâ: 14-15)
Pengasuh
PON-PES Salafiyah Syafi'iyah
Sukorejo
Situbondo
JAWA - TIMUR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar